Aku dan Bipolar

ku ulangi sekali lagi “AKU MENIKMATI SETIAP RASA SAKIT DAN TANGIS YANG KU BUAT”

♧ BAB 1: Ku ulangi sekali lagi “Aku menikmati setiap Rasa Sakit dan Tangis yang ku buat ” 

Saat itu, aku masih berusia 6 tahun. Entah kenapa, telinga terlalu sering mendengar bunyi yang keras, entah itu telefon rumah yang pecah akibat lemparan hebat papa ku, entah itu teriakan mama ku yang sedang bertengkar dengan papa. Entah itu suara diding atau pintu yang dipukul oleh papa. Juga entah kenapa memori pistol papa yang mengacung di kepala mama tak bisa ku lupakan hingga sekarang. 

Semakin bertambah usia ku, akhirnya aku yang merasakan secara langsung. Kini aku tidak hanya mendengarkan suara dari balik pintu kamar ku. Suatu ketika Papa ku mengejar ku ke dalam kamar dan menampar wajah ku akibat aku tidak mau membagi kue kepada adik bungsuku. Saat itu aku masih 8 tahun. Aku ingat, saat itu kami baru turun mobil, pulang dari pasar. 

Hal-hal buruk mulai bermunculan di kepala ku. Apa pun yang aku lakukan selalu salah. Mama selalu memarahi ku, aku yang dulu masih bodoh matematika takut akan cubitan mama, dan marahan mama. Kadang aku tidak sanggup tidur siang, aku takut, mimpi buruk selalu mengejarku, entah mimpi aku diperkosa laki-laki gendut, atau mimpi papa dan mama meninggal dunia. Tapi mama ku tidak mengerti, mama hanya memarahi ku, dan men-cabai-kan mulutku. Sungguh pedas!

Saat sekolah menengah pertama, aku bahkan diganggu oleh satpam sekolah mesum yang “mengaku-ngaku” anak buah papa ku di kantor. Aku heran, kenapa satpam bisa punya bos polisi? Hal ini ku abaikan, karena aku dan hampir seluruh anak perempuan di sekolah ku mengakui, satpam itu mesum dan omongannya penuh kebohongan. Tapi sialnya, suatu hari aku kehabisan jajan, sedangkan aku tidak berani pulang ke rumah mama (mama dan papa ku akhirnya bercerai). Dengan penuh penyesalan (sebenarnya) ku minta satpam yang mengaku anak buah papa ku itu untuk mengantar ku ke rumah papa. Dia mau, tapi mimpi buruk ku datang. Siang menjelang sore (maghrib) aku menunggu dia selesai bertugas di ruangannya. Dia mulai menggerayangi ku, aku kaget… lalu dia menutup mulut ku. Sebelum dia bisa memeluku Kugigit tangan najis nya itu dan berlari keluar ruang satpam. Tapi dengan bodohnya aku hanya dapat berkata “saya tunggu di luar pak”. Ya, aku kecil memang sangat bodoh. Kau tahu, di perjalanan pun tangan laknatnya berani memegangi ku dan mencoba mencapai jilbab dan dadaku. Membayanginya saat ini, sangat membuat ku pusing. Jangan kan hari ini, aku terus melihat bayangan itu  setiap hari setiap melihat laki-laki gemuk bertubuh gembil. Malam nya bahkan aku hanya bisa menangis dan bingung, aku bertanya pada diriku berulang kali, “papa aku mau bilang….,  anak buah papa jahat karena…, papa….. papa… hingga terlelap, semuanya tetap tak bisa kuungkapkan hingga sekarang.

Ternyata lulus sekolah menengah juga bukan peruntungan yang bagus. Aku keseringan berada di rumah papa saat itu, dan secara beriringan entah kenapa kerap kali aku disana, papa selalu marah dengan anak tiri laki-lakinya. Suatu malam, saat menyapu ruang tamu, tiba-tiba ku rasakan benda keras memukul kepala ku. Ku pikir rumah ku runtuh, namun ternyata, televise 18 inci model tabung  yang behasil menggapainya. Papa lah pelakunya, hanya karena marah, papa ku hilang akal sehat, beliau melempar televisi itu (katanya-tanpa sengaja) ke kepalaku. Mungkin benar tidak sengaja, karena setelahnya papa memeluk ku dan minta maaf, lalu mengajak ku untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Kalian tahu apa jawab ku?, “ga usah papa, ga papa, ga sakit”. 

Ya aku menikmati setiap rasa sakit yang ku buat. Ku ulangi sekali lagi “AKU MENIKMATI SETIAP RASA SAKIT DAN TANGIS YANG KU BUAT”. Kubiarkan kepala ku sedikit berdarah. Tak ku obati sama sekali. Dan akhirnya dampaknya adalah saat kuliah semester 5. Aku menjalani CT Scan untuk kepala ku. Yang diteruskan dengan Rujukan kepada Psikolog. Dokter bilang ada beberapa bekas benturan yang menimbulkan dampak jangka panjang, dan terlebih lagi, aku depresi. Tapi aku hanya bisa diam, toh aku salah satu mahasiswi terbaik di kampus ku. Tapi saat aku benar benar merasa depresi, dan marah tanpa sadar , aku memberi tahu mama tentang kondisiku, ku bilang “terus ajha pukul, marahi, toh dokter bilang aku memang gila karena depresi”. 

Saat itu, aku tak pernah sadar dengan kondisiku. Ku pikir aku yang ber-ipk bagus sekali ini normal, dan tidak sakit jiwa. Toh aku bisa belajar bahkan menghafal al-Qu’an. Aku yakin aku normal. Namun sampai akhirnya …

Author: adhhanurul

Mengejar waktu yang tanpa batas, Menjalani kesabaran yang tiada ujung, Membaca situasi yang tidak terkendali, Melawan kekhawatiran yang berlebihan, Merindukan ibunda yang tersayang. | MTsN Model Pdg | Man Koto Baru PdgPnjg | UIN Jakarta | SPs UIN Jakarta

Leave a comment